Tidak mudah menjadi kader luar biasa yang punya kesabaran luar biasa, dan kelak menjadi bidadari luar biasa
“Ayo Bu Rini, tarik nafasnya, keluarkan. Iya, pintar. Sabar ya Bu, ayo nafasnya diatur kembali. Ayo sayang, lihat kepalanya sudah mau keluar.” Ibu itu tampak bersusah payah mengatur nafasnya. Ia sudah begitu kelelahan. Aku kembali membujuknya, “tinggal sedikit lagi.” Ibu muda ini sepertinya salah mengedan. Tinggal sedikit lagi, dan bila ibu ini mengedan dengan baik maka APN (Asuhan Persalinan Normal) yang kulakukan berjalan sukses, tanpa perlu episiotomi. Suaminya tampak pucat, maklum anak pertama. Dibisikkannya doa di telinga istrinya, Bismillah. Uterusnya kembali mengencang, rupanya mulas itu kembali hadir. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ibu itu menuruti setiap arahan yang kuberikan. Perlahan namun pasti, kerniq itu terjadi, kepala bayi itu keluar dan mulai memutar. Dalam hitungan detik, kulahirkan bahunya, Alhamdulillah... Suara tangisannya mulai terdengar. Kuletakkan bayi itu diatas perut ibu yang dialasi planel biru muda bergambar kotak. Kuklem tali pusarnya, dan kugunting, sekarang tinggal melahirkan plasentanya. Sekilas kulihat wajah bu Rini, lelah itu seolah sirna. Senyuman mengembang menghiasi wajahnya yang masih bersimbah keringat. Air mata pun mengalir membasahi kedua pipinya. Aku pun tak kuasa menahan haru, ini pasien partus pertamaku.
Subhanallah. Dan lembaran-lembaran kenangan bersama ibu hadir dibenakku. Teringat, kata ibu aku lahir premature dengan APGAR 4 dan proses persalinan sungsang yang menyebabkan beberapa komplikasi. Wajah yang tak berbentuk, lebih mirip “anak monyet” dengan berat hanya 1800 ons di sebuah kampung di Sumedang. Yang pastinya jauh dari fasilitas incubator. Hingga akhirnya hanya ditemani dua buah petromak yang menghangatkan tubuh mungilku dan berbekas mehong (sisa abu hitam) yang menghiasi wajahku tiap paginya. Dengan tangisan yang irit, dan sistem pencernaan yang belum sempurna. Namun itu tak melemahkan semangatnya untuk menerima kondisiku apa adanya, dengan berbagai kekurangan yang ada meski plus tangisan yang kerap hadir. Ia membesarkanku dalam kesabaran, hingga hari ini aku masih berdiri disini.
Dan episode kehidupan terus berjalan, menorehkan sejarah tentang aku dan ibu. Mengajarkan arti cinta, mengenalkan tentang kasih sayang Ilahi dan berjuta makna lainnya. Masa-masa sekolahku ibu sangat protektif, mungkin karena rasa sayangnya yang kerap membuatku sulit beraktivitas. Terlebih aku masih anak nakal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Meski tetap hanif untuk tidak berpacaran. Hidayah itu hadir saat aku mulai mengenakan jilbab, meski dengan niat yang belum juga lurus. Kayanya lucu deh kalau pake jilbab. Namun ternyata hidayah itu menular, ibu yang masih dengan gaya gaulnya perlahan mulai melirik kerudung untuk menutup auratnya. Belum rapi memang, but better.
Dunia kemudian seolah berputar 180 derajat saat aku mulai kuliah. Cita-cita ibu akhirnya tercapai juga, cita-citaku yu…dadah deh. Ga bakal direstui masuk seni rupa ITB, padahal mungkin aku jadi kenal Aming dan masuk Extravaganza (hehe… Ga kebayang deh). Alhamdulillah lingkungan baruku mengajarkan banyak hal. Sepertinya sejak awal aku sudah dijadikan target utama dakwah fardiyah teman-teman yang lebih dahulu faham. Ge-er gini, habis kemana-mana pasti ditempel dan didoktrin berbagai hal. Alhamdulillah mereka berhasil….
Terlebih saat itu dideklarasikan sebuah partai Islam baru, dan juga kondisi aksi mahasiswa yang marak untuk menurunkan rezim orde baru. Semua melahirkan semangat baru dalam diriku, semangat untuk berjuang dan mengenal dakwah. Aku pun mulai mengenakan jilbab panjang, meski belum istiqomah. “Kaya kerekan bendera,” kata seorang akhwat (kadang naik kadang turun), ikhwah terkadang mengejutkan. Huuh kesel juga kadang, aku kan masih belajar, but akhirnya aku mengerti tentang pentingnya istiqomah. Dan ibu perlahan meninggalkan kerudungnya, ia mulai memakai jilbab, menutupi lehernya meski belum juga rapi. Ibu bingung, kenapa pake jilbab dobel-dobel katanya, belum lagi bingung dengan perubahanku; nasyid serta doktrin yang keluar dari lisanku. Maklum aktivis baru. Hehe. (Ngakunya sih akhtipis padahal…).
Waktu terus berjalan, aku semakin tertarik pada dakwah dan mulai mencintainya. Jadilah aku akhwat yang sering pulang malam (dulu belum ada larangan pulang malam untuk akhwat…. Tapi meski sekarang pun ada… Tetep aja nakal). Pulang malam karena berbagai alasan, dan sedikit banyak itu mulai mengurangi waktuku bersama ibu. Dan tak satupun larangan dari ibu. Berbagai daurah, mabit, dan mukhayam pun ku ikuti. Ibu hanya berbekal tsiqoh padaku. Semua berlalu begitu cepat, dalam aktivitas yang seolah tak menyisakan waktu untukku menghela nafas atau sekedar beristirahat sejenak. Aku selalu pulang dengan energi sisa, rumah seringkali hanyalah persinggahan tidurku. Komunikasi pun berjalan sangat minim. Yang ada hanyalah rasa lelah. Masya Allah.
Hingga sebuah pertanyaan muncul dari ibuku. “Kenapa begitu sibuk membina orang lain sementara tak kau bina keluargamu? Tolong ajari ibu.” Pertanyaan yang menohokku begitu dalam. Teringat sikap kerasku dan penyampaianku yang terkadang melupakan bahwa aku berhadapan dengan ibuku. Perlahan aku mulai mengajak ibu dalam aktivitasku. Meski dengan waktu yang tersisa. Ibu kembali bertanya “Teh, Yahudi itu siapa? Kenapa kita harus memusuhinya? Kalau Teteh termasuk golongan apa? Kata ustadz diceramah tadi, katanya umat Islam dibagi menjadi 77 golongan dan hanya satu golongan yang benar. Gimana? Mama ikut Teteh aja ya?” Aku terdiam, speechless. Ada banyak hal yang harus disampaikan. Tapi kapan? Hari ini rapat, besok daurah, besoknya lagi pembuatan grand design.
Namun hidayah Allah hadir pada siapapun yang dikehendakiNya. Malam-malam itikaf beberapa tahun ini jadi aktivitas rutinku. Selalu menyenangkan berada disana. Dulu ibu alergi tidur di masjid, dengan berbagai alasan. Dingin, takut rematik kambuh, gatal-gatal. Namun perlahan ibu menyambut ajakanku, meski berbekal bantal besar, selimut, makanan, hingga rasanya kalau ga malu kasur pun akan dibawa. Tapi tak masalah, yang penting ibu bisa merasakan perasaan yang sama. Ada kebanggaan saat ibuku berkata “Mama kuat berdiri. Kemaren mah duduk, abis pegel. Malam ini Alhamdulillah kuat.” Bersyukur pula aku punya teman-teman yang dekat dengan ibuku, hingga tidak canggung baginya berada dalam lingkungan baru. Terkadang, aku malu sendiri. Melihat semangat yang terpancar diwajahnya, mendengar ceramah ustadz, menanyakan banyak hal dan menangis dalam sujud panjangnya. Rasanya aku masih kalah besar.
Ibu mulai senang menghafal surat-surat pendek juz amma. Seringkali aku dipanggilnya untuk sekedar muraja’ah. Aku merenung dalam hati kecilku, betapa banyak waktu yang ku habiskan untuk memikirkan agar binaanku menyenangi menghafal al-Qur’an dengan berbagai keutamaanya. Namun berapa banyak aku menghidupkan keutamaan itu dirumahku? Atau aku hanya egois dengan menjadikan diriku sendiri yang merasakan kenikmatan berinteraksi bersama al-Qur’an? Entahlah, rasanya ada berbagai hal yang harus kurenungi.
Ibu paling tahu aktivitasku, tentang kesenanganku berinteraksi dengan anak-anak sekolah. Tentang sifat-sifatku, buruk, dan baikku. Dan aku sangat terbuka mengenalkan semua itu pada ibu. Terkadang, tak pernah terlintas dalam benak kita bahwa keluarga kita adalah simpatisan dan kader dakwah yang andal. Pemilu kemarin, berbekal kestiqohan ibuku mendirect selling teman-temannya dan mereka menargetkan sepuluh orang setiap harinya dan menghasilkan 200 simpatisan setiap bulannya. Subhanallah, ternyata energi tsiqoh begitu besar. Dan aku mengerti, ibuku perlu pembinaan yang jauh lebih baik.
Sungguh, ada banyak hikmah yang bisa kuambil. Tentang kekuatan yang hadir, dan energi ketsiqohan. Dan kuingin berbagi dengan sahabat-sahabatku yang kusayangi. Seringkali, cita-cita keluarga Islami yang memenuhi benak kita adalah saat kita berumah tangga, menikahi seorang akhwat atau ikhwan aktivis yang memiliki visi dan misi perjuangan yang sama. Membina keluarga hafidz, lewat jundi-jundi yang diajarkan mengenal al-Qur’an sejak dini. Membangun basis dakwah saat kita membina keluarga kita sendiri. Kita sering lupa, bahwa cita-cita itu harus diwujudkan sejak kita masih menjadi seorang anak. Saat kita berada didalam rumah, dalam kepemimpinan ayah dan kasih sayang ibu, dan berbagai perbedaan antara kita dan saudara-saudara kita, kakak, adik, tante, om, dan civitas keluarga kita.
Entah apakah kita pernah memikirkan grand design dakwah dikeluarga kita. Atau sekedar mensyurokannya dengan hati kita maupun dengan saudara yang sefaham dengan kita. Keluarga kita sering kali hanyalah mendapatkan energi sisa kita. Padahal, bukankah ini adalah amanah kita untuk menjaga keluarga kita dari menjadi bahan bakar api neraka? Kita sering kali lalai ada seorang bidadari surga yang menanti pembinaan kita, menanti diskusi-diskusi bersama kita, dan muraja’ah hafalan, meski kerap terbata-bata. Kita seringkali lupa untuk sekedar mengucapkan sayang padanya atau meminta maafnya. Padahal tadhiyahnya begitu besar, kasih sayang, maal, pengertian, dukungan, dan doa-doanya takkan pernah terbalaskan, meski kita memberikan dunia. Ibu tak pernah protes meski seringkali kita mengabaikan hak-haknya. Sibuk dengan urusan kita sendiri. Lupa untuk sekedar memijat kakinya, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, atau memberikan hadiah untuknya. Karena ia tak butuh semua itu. Yang ia inginkan anaknya menjadi hamba Alloh yang sholeh, sholehah.
Seorang ibu saat itikaf tahun lalu pernah berkisah padaku. Tentang anaknya yang ia banggakan, seorang mujahid yang konsisten di jalan dakwah. “Ibu tsiqoh, ia menjalankan semua ini karena amanah dakwah dan kebaikan. Meski sering kali begitu sulit untuk bersamanya, bahkan dalam itikaf pun andaikata ibu tak ikut mungkin ibu tak bisa bersamanya. Dan disini ibu pun terpisah darinya dibatasi hijab. Namun ibu percaya, ia berada dalam jalan yang diridhoiNya. Ya, ibu hanya bisa mendoakannya agar selalu berada dalam kebaikan.” Selalu ada kebanggaan yang terucap dari lisannya, betapapun ia khawatir akan anaknya yang begitu sibuk. Selalu ada toleransi dan pengertian. Dan itulah ibu, kekuatan cintanya tak terbalaskan.
Sahabatku, hari ini hari milik kita, esok pun juga milik kita. Namun jangan jadikan sekedar milik kita. Tapi jadikan pula milik keluarga kita, milik ibu, ayah, kakak, adik, dan segenap orang-orang yang kita cintai. Meski perjalanannya tidaklah mudah, namun bukan berarti tak mungkin. Tuk menjadikan ibu kita bidadari surga, tuk membawa ayah, kakak, adik, dan orang-orang yang kita cintai menuju cintaNya, dan berdoa agar kita dikumpulkan dijannah-Nya. Jadilah mentari yang terus menyala dalam ruang keluarga kita, disini di dalam hati-hati kita. Jadilah nur yang membawa cahaya kebaikan dengan cinta dan kasih sayang. Sungguh, kehidupan kita tak pernah lepas dari doa-doa ibu, kesuksesan kita tak lain adalah hasil munajat ibu. Dan kebaikan yang ada, mungkin adalah hidayah dari tiap bulir air mata yang mengalir di pipinya.
Jangan lupakan bidadari surgamu menanti sedikit waktumu bersamanya. Tuk berjalan bersama dalam naungan Ar-RahmanNya, dalam lindungan Ar-RahiimNya, dalam cahaya CintaNya. Mengarungi perjalanan kehidupan bersamamu tuk menuju jannahNya. Karena jannahNya begitu mahal. “Mama tsiqoh padamu, sayang padamu, dan senantiasa berdoa untukmu. Jadilah anak yang sholeh sholehah, agar Mama dapat mempertanggungjawabkan amanah ini dihadapan Allah kelak.”
*****
Sahabat, tulisan ini dibuat dari berbagai cerita tentang ibu yang aku dan sahabat-sahabatku alami. Sungguh, semoga menjadi renungan tentang selaksa cinta dan grand design yang harus kita siapkan untuk orang-orang yang kita cinta. Agar menjadi baiti jannati, dan agar kebersamaan ini terus berlangsung hingga perjumpaan denganNya. Jagalah ibu, ayah, kakak, adik, dan saudara-saudara kita dengan cinta dan keimanan, bawalah sebanyak mungkin mereka menuju jannah-Nya.
~Azzam Syahidah
“Ayo Bu Rini, tarik nafasnya, keluarkan. Iya, pintar. Sabar ya Bu, ayo nafasnya diatur kembali. Ayo sayang, lihat kepalanya sudah mau keluar.” Ibu itu tampak bersusah payah mengatur nafasnya. Ia sudah begitu kelelahan. Aku kembali membujuknya, “tinggal sedikit lagi.” Ibu muda ini sepertinya salah mengedan. Tinggal sedikit lagi, dan bila ibu ini mengedan dengan baik maka APN (Asuhan Persalinan Normal) yang kulakukan berjalan sukses, tanpa perlu episiotomi. Suaminya tampak pucat, maklum anak pertama. Dibisikkannya doa di telinga istrinya, Bismillah. Uterusnya kembali mengencang, rupanya mulas itu kembali hadir. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ibu itu menuruti setiap arahan yang kuberikan. Perlahan namun pasti, kerniq itu terjadi, kepala bayi itu keluar dan mulai memutar. Dalam hitungan detik, kulahirkan bahunya, Alhamdulillah... Suara tangisannya mulai terdengar. Kuletakkan bayi itu diatas perut ibu yang dialasi planel biru muda bergambar kotak. Kuklem tali pusarnya, dan kugunting, sekarang tinggal melahirkan plasentanya. Sekilas kulihat wajah bu Rini, lelah itu seolah sirna. Senyuman mengembang menghiasi wajahnya yang masih bersimbah keringat. Air mata pun mengalir membasahi kedua pipinya. Aku pun tak kuasa menahan haru, ini pasien partus pertamaku.
Subhanallah. Dan lembaran-lembaran kenangan bersama ibu hadir dibenakku. Teringat, kata ibu aku lahir premature dengan APGAR 4 dan proses persalinan sungsang yang menyebabkan beberapa komplikasi. Wajah yang tak berbentuk, lebih mirip “anak monyet” dengan berat hanya 1800 ons di sebuah kampung di Sumedang. Yang pastinya jauh dari fasilitas incubator. Hingga akhirnya hanya ditemani dua buah petromak yang menghangatkan tubuh mungilku dan berbekas mehong (sisa abu hitam) yang menghiasi wajahku tiap paginya. Dengan tangisan yang irit, dan sistem pencernaan yang belum sempurna. Namun itu tak melemahkan semangatnya untuk menerima kondisiku apa adanya, dengan berbagai kekurangan yang ada meski plus tangisan yang kerap hadir. Ia membesarkanku dalam kesabaran, hingga hari ini aku masih berdiri disini.
Dan episode kehidupan terus berjalan, menorehkan sejarah tentang aku dan ibu. Mengajarkan arti cinta, mengenalkan tentang kasih sayang Ilahi dan berjuta makna lainnya. Masa-masa sekolahku ibu sangat protektif, mungkin karena rasa sayangnya yang kerap membuatku sulit beraktivitas. Terlebih aku masih anak nakal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Meski tetap hanif untuk tidak berpacaran. Hidayah itu hadir saat aku mulai mengenakan jilbab, meski dengan niat yang belum juga lurus. Kayanya lucu deh kalau pake jilbab. Namun ternyata hidayah itu menular, ibu yang masih dengan gaya gaulnya perlahan mulai melirik kerudung untuk menutup auratnya. Belum rapi memang, but better.
Dunia kemudian seolah berputar 180 derajat saat aku mulai kuliah. Cita-cita ibu akhirnya tercapai juga, cita-citaku yu…dadah deh. Ga bakal direstui masuk seni rupa ITB, padahal mungkin aku jadi kenal Aming dan masuk Extravaganza (hehe… Ga kebayang deh). Alhamdulillah lingkungan baruku mengajarkan banyak hal. Sepertinya sejak awal aku sudah dijadikan target utama dakwah fardiyah teman-teman yang lebih dahulu faham. Ge-er gini, habis kemana-mana pasti ditempel dan didoktrin berbagai hal. Alhamdulillah mereka berhasil….
Terlebih saat itu dideklarasikan sebuah partai Islam baru, dan juga kondisi aksi mahasiswa yang marak untuk menurunkan rezim orde baru. Semua melahirkan semangat baru dalam diriku, semangat untuk berjuang dan mengenal dakwah. Aku pun mulai mengenakan jilbab panjang, meski belum istiqomah. “Kaya kerekan bendera,” kata seorang akhwat (kadang naik kadang turun), ikhwah terkadang mengejutkan. Huuh kesel juga kadang, aku kan masih belajar, but akhirnya aku mengerti tentang pentingnya istiqomah. Dan ibu perlahan meninggalkan kerudungnya, ia mulai memakai jilbab, menutupi lehernya meski belum juga rapi. Ibu bingung, kenapa pake jilbab dobel-dobel katanya, belum lagi bingung dengan perubahanku; nasyid serta doktrin yang keluar dari lisanku. Maklum aktivis baru. Hehe. (Ngakunya sih akhtipis padahal…).
Waktu terus berjalan, aku semakin tertarik pada dakwah dan mulai mencintainya. Jadilah aku akhwat yang sering pulang malam (dulu belum ada larangan pulang malam untuk akhwat…. Tapi meski sekarang pun ada… Tetep aja nakal). Pulang malam karena berbagai alasan, dan sedikit banyak itu mulai mengurangi waktuku bersama ibu. Dan tak satupun larangan dari ibu. Berbagai daurah, mabit, dan mukhayam pun ku ikuti. Ibu hanya berbekal tsiqoh padaku. Semua berlalu begitu cepat, dalam aktivitas yang seolah tak menyisakan waktu untukku menghela nafas atau sekedar beristirahat sejenak. Aku selalu pulang dengan energi sisa, rumah seringkali hanyalah persinggahan tidurku. Komunikasi pun berjalan sangat minim. Yang ada hanyalah rasa lelah. Masya Allah.
Hingga sebuah pertanyaan muncul dari ibuku. “Kenapa begitu sibuk membina orang lain sementara tak kau bina keluargamu? Tolong ajari ibu.” Pertanyaan yang menohokku begitu dalam. Teringat sikap kerasku dan penyampaianku yang terkadang melupakan bahwa aku berhadapan dengan ibuku. Perlahan aku mulai mengajak ibu dalam aktivitasku. Meski dengan waktu yang tersisa. Ibu kembali bertanya “Teh, Yahudi itu siapa? Kenapa kita harus memusuhinya? Kalau Teteh termasuk golongan apa? Kata ustadz diceramah tadi, katanya umat Islam dibagi menjadi 77 golongan dan hanya satu golongan yang benar. Gimana? Mama ikut Teteh aja ya?” Aku terdiam, speechless. Ada banyak hal yang harus disampaikan. Tapi kapan? Hari ini rapat, besok daurah, besoknya lagi pembuatan grand design.
Namun hidayah Allah hadir pada siapapun yang dikehendakiNya. Malam-malam itikaf beberapa tahun ini jadi aktivitas rutinku. Selalu menyenangkan berada disana. Dulu ibu alergi tidur di masjid, dengan berbagai alasan. Dingin, takut rematik kambuh, gatal-gatal. Namun perlahan ibu menyambut ajakanku, meski berbekal bantal besar, selimut, makanan, hingga rasanya kalau ga malu kasur pun akan dibawa. Tapi tak masalah, yang penting ibu bisa merasakan perasaan yang sama. Ada kebanggaan saat ibuku berkata “Mama kuat berdiri. Kemaren mah duduk, abis pegel. Malam ini Alhamdulillah kuat.” Bersyukur pula aku punya teman-teman yang dekat dengan ibuku, hingga tidak canggung baginya berada dalam lingkungan baru. Terkadang, aku malu sendiri. Melihat semangat yang terpancar diwajahnya, mendengar ceramah ustadz, menanyakan banyak hal dan menangis dalam sujud panjangnya. Rasanya aku masih kalah besar.
Ibu mulai senang menghafal surat-surat pendek juz amma. Seringkali aku dipanggilnya untuk sekedar muraja’ah. Aku merenung dalam hati kecilku, betapa banyak waktu yang ku habiskan untuk memikirkan agar binaanku menyenangi menghafal al-Qur’an dengan berbagai keutamaanya. Namun berapa banyak aku menghidupkan keutamaan itu dirumahku? Atau aku hanya egois dengan menjadikan diriku sendiri yang merasakan kenikmatan berinteraksi bersama al-Qur’an? Entahlah, rasanya ada berbagai hal yang harus kurenungi.
Ibu paling tahu aktivitasku, tentang kesenanganku berinteraksi dengan anak-anak sekolah. Tentang sifat-sifatku, buruk, dan baikku. Dan aku sangat terbuka mengenalkan semua itu pada ibu. Terkadang, tak pernah terlintas dalam benak kita bahwa keluarga kita adalah simpatisan dan kader dakwah yang andal. Pemilu kemarin, berbekal kestiqohan ibuku mendirect selling teman-temannya dan mereka menargetkan sepuluh orang setiap harinya dan menghasilkan 200 simpatisan setiap bulannya. Subhanallah, ternyata energi tsiqoh begitu besar. Dan aku mengerti, ibuku perlu pembinaan yang jauh lebih baik.
Sungguh, ada banyak hikmah yang bisa kuambil. Tentang kekuatan yang hadir, dan energi ketsiqohan. Dan kuingin berbagi dengan sahabat-sahabatku yang kusayangi. Seringkali, cita-cita keluarga Islami yang memenuhi benak kita adalah saat kita berumah tangga, menikahi seorang akhwat atau ikhwan aktivis yang memiliki visi dan misi perjuangan yang sama. Membina keluarga hafidz, lewat jundi-jundi yang diajarkan mengenal al-Qur’an sejak dini. Membangun basis dakwah saat kita membina keluarga kita sendiri. Kita sering lupa, bahwa cita-cita itu harus diwujudkan sejak kita masih menjadi seorang anak. Saat kita berada didalam rumah, dalam kepemimpinan ayah dan kasih sayang ibu, dan berbagai perbedaan antara kita dan saudara-saudara kita, kakak, adik, tante, om, dan civitas keluarga kita.
Entah apakah kita pernah memikirkan grand design dakwah dikeluarga kita. Atau sekedar mensyurokannya dengan hati kita maupun dengan saudara yang sefaham dengan kita. Keluarga kita sering kali hanyalah mendapatkan energi sisa kita. Padahal, bukankah ini adalah amanah kita untuk menjaga keluarga kita dari menjadi bahan bakar api neraka? Kita sering kali lalai ada seorang bidadari surga yang menanti pembinaan kita, menanti diskusi-diskusi bersama kita, dan muraja’ah hafalan, meski kerap terbata-bata. Kita seringkali lupa untuk sekedar mengucapkan sayang padanya atau meminta maafnya. Padahal tadhiyahnya begitu besar, kasih sayang, maal, pengertian, dukungan, dan doa-doanya takkan pernah terbalaskan, meski kita memberikan dunia. Ibu tak pernah protes meski seringkali kita mengabaikan hak-haknya. Sibuk dengan urusan kita sendiri. Lupa untuk sekedar memijat kakinya, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, atau memberikan hadiah untuknya. Karena ia tak butuh semua itu. Yang ia inginkan anaknya menjadi hamba Alloh yang sholeh, sholehah.
Seorang ibu saat itikaf tahun lalu pernah berkisah padaku. Tentang anaknya yang ia banggakan, seorang mujahid yang konsisten di jalan dakwah. “Ibu tsiqoh, ia menjalankan semua ini karena amanah dakwah dan kebaikan. Meski sering kali begitu sulit untuk bersamanya, bahkan dalam itikaf pun andaikata ibu tak ikut mungkin ibu tak bisa bersamanya. Dan disini ibu pun terpisah darinya dibatasi hijab. Namun ibu percaya, ia berada dalam jalan yang diridhoiNya. Ya, ibu hanya bisa mendoakannya agar selalu berada dalam kebaikan.” Selalu ada kebanggaan yang terucap dari lisannya, betapapun ia khawatir akan anaknya yang begitu sibuk. Selalu ada toleransi dan pengertian. Dan itulah ibu, kekuatan cintanya tak terbalaskan.
Sahabatku, hari ini hari milik kita, esok pun juga milik kita. Namun jangan jadikan sekedar milik kita. Tapi jadikan pula milik keluarga kita, milik ibu, ayah, kakak, adik, dan segenap orang-orang yang kita cintai. Meski perjalanannya tidaklah mudah, namun bukan berarti tak mungkin. Tuk menjadikan ibu kita bidadari surga, tuk membawa ayah, kakak, adik, dan orang-orang yang kita cintai menuju cintaNya, dan berdoa agar kita dikumpulkan dijannah-Nya. Jadilah mentari yang terus menyala dalam ruang keluarga kita, disini di dalam hati-hati kita. Jadilah nur yang membawa cahaya kebaikan dengan cinta dan kasih sayang. Sungguh, kehidupan kita tak pernah lepas dari doa-doa ibu, kesuksesan kita tak lain adalah hasil munajat ibu. Dan kebaikan yang ada, mungkin adalah hidayah dari tiap bulir air mata yang mengalir di pipinya.
Jangan lupakan bidadari surgamu menanti sedikit waktumu bersamanya. Tuk berjalan bersama dalam naungan Ar-RahmanNya, dalam lindungan Ar-RahiimNya, dalam cahaya CintaNya. Mengarungi perjalanan kehidupan bersamamu tuk menuju jannahNya. Karena jannahNya begitu mahal. “Mama tsiqoh padamu, sayang padamu, dan senantiasa berdoa untukmu. Jadilah anak yang sholeh sholehah, agar Mama dapat mempertanggungjawabkan amanah ini dihadapan Allah kelak.”
*****
Sahabat, tulisan ini dibuat dari berbagai cerita tentang ibu yang aku dan sahabat-sahabatku alami. Sungguh, semoga menjadi renungan tentang selaksa cinta dan grand design yang harus kita siapkan untuk orang-orang yang kita cinta. Agar menjadi baiti jannati, dan agar kebersamaan ini terus berlangsung hingga perjumpaan denganNya. Jagalah ibu, ayah, kakak, adik, dan saudara-saudara kita dengan cinta dan keimanan, bawalah sebanyak mungkin mereka menuju jannah-Nya.
~Azzam Syahidah
2 komentar:
subhanallah...kisah yang bagus
boleh minta alamat email Azzam syahidah tidak? beliau akhwat kan? mungkin suatu saat nanti bisa diskusi tentang dakwah kelurga dengan beliau
syukron
Posting Komentar