MAJELIS itu men-jadi tegang. Empat puluhan otang yang memenuhi ruangan kecil itu tercekat membisu. Di hadapan mereka ber¬diri dua orang yang selama ini me¬reka jadikan panutan dalam ber-juang. Keduanya saling tatap de¬ngan mata nanar. Tangan mereka terkepal, seakan ingin menumpah¬kan gumpalan besar dalam dada. Hingga salah satu dari keduanya berkata: "Selama masih ada antum disini, jangan harap ana akan ikut aktif!" Sesaat kemudian, "Brakk!" Pintu ruangan dibanting, seiring kepergiannya. Entah kemana. Dan desahan istighfar berpadu titik air mata serentak membasahi ruangan tersebut.
Di lain tempat lain waktu, tiga anak manusia hangat berdiskusi. Dengan mimik serius, sesekali me¬reka menggoreskan sketsa di papan tulis. Ketiga aktivis Muslim kam¬pus itu seolah sedang membicara¬kan rekayasa sosial politik di kam¬pusnya. Tampak mereka menghi¬tung-hitung kekuatan dan kele¬mahan yang dimiliki, baik lawan maupun kawan. Namun bila ditilik lebih dekat, ternyata mereka ber-bincang untuk menurunkan qiya-dah kampus. Suatu 'tembok insti¬tusi' yang selama ini dirasakan ku¬rang aspiratif terhadap ide-ide kre¬atif mereka.
Di belahan bumi lainnya, anak-anak, laki-laki dan wanita mus-limin panik berlarian. Dengan wa¬jah cemas mereka mencoba me-nyelamatkan diri. Dibelakang, ra¬tusan bahkan ribuan milisi kafir mengejar dan memberondong de¬ngan senjata-senjata mereka. Ru¬mah, masjid dan sekolah dibakar habis. Rata dengan tanah. Hutan dan apa saja yang bisa melindungi mereka menjadi tujuan. Jangan bertanya tentang perlawanan, ka¬rena makanan dan obat-obatan saja belum tentu ada. Saat itu mereka hanya bisa bertanya: "Mataa nashrullah ? Dimana pertolongan Allah 1 Dimana Mujahid-Mujahid Allah ?" Harapan yang tergetar di antara bibir pecah yang kelaparan.
Di sekitar kita, dalam keadaan yang berbeda. Saudara muslim kita tenggelam dalam 'kenikmatan' hidup. Mereka keluar mengumbar kehinaan, dengan sadar, murah, dan tanpa rasa berdosa. Mereka menggadaikan kemuliaan, status penghambaan, dan menjadi agen kampanye nilai-nilai kuffar. Semata karena ketidakpahaman. Mereka mendapatkan defenisi persauda-raannya di sana. "Ah, bodo... kaku kayak begitu mana enak gaulnya. Ke-tinggalan zaman, kuno, suka nggak nyambung kala di ajak ngomong"
Ironis. Di satu sisi ummat ter-jerumus ke dasar lembah kehinaan. Dengan segala kebutaan akan pe¬tunjuk Rabbani, tanpa tersadar kaki-kaki ummat melangkah me¬nuju kebinasaan. Satu milyar umat dimuka bumi ini membutuhkan manusia-manusia penyadar. Manu¬sia yang mampu membangunkan ummat, membukakan matanya dan menyucikan jiwanya. Manusia yang memiliki imunitas akan badai be¬sar jahiliyyah. Manusia yang ber¬tekad mengusung warisan para an-biya, ulama, mujaddid, shiddiqin dan syuhada. Manusia yang menye-lamatkan ummat dari jurang kebo-dohan dan kenistaan.
Namun di sisi lain, hari ini kita dapati manusia-manusia penyadar itu larut dengan ego dan fanatisme masing-masing. Terperosok dalam perdebatan yang memecah belah dengan teramat parah. Seakan lupa bahwa kebenaran hanyalah milik Allah. Bahwa wala' (loyalitas) dan ghayah (tujuan) hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Bahwa se¬gala pendapat, uslub dan fikrah merupakan ijtihad yang bisa benar dan bisa salah. Bahwa institusi dak¬wah pemayung amal adalah semata washilah (sarana), bukan ghayah. Bahwa setiap Muslim adalah ber¬saudara dengan segala hak-hak yang telah diamanatkan Allah dan Rasul-Nya. Bahwa perpecahan ha-nyalah akan melemahkan langkah dan mencerai-beraikan barisan.
Sungguh, Allah telah tegas mengingatkan: "Dan taatlah ke¬pada Allah dan Rasul-Nya dan ja¬nganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QSAlAnfal: 16). "
Sungguh Rasulullah saw yang mulia juga mengamanahkan: "Hendaklah kalian menjauhi prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian mencari kesalahan orang lain, saling mendengki, memancing emo¬si, dan saling membenci. Akan tetapi jadilah kalian hamba Allah yang berukhuwah!". (HRBukharidari Abu Hurairah ra).
Persaudaraan menjadi kata yang teramat mahal hari ini. Pa¬dahal kata inilah kunci kejayaan kaum Muslimin di masa silam. Kata yang mampu mengeja¬wantahkan aqidah dalam segala dimensinya. Kata yang mampu me-lehur segala kelas sosial. Menyu¬sun ragam suku, bahasa, budaya, negara, politik hingga pemikiran dan rasa menjadi warna-warni mozaik indah beridentitas : ISLAM.
Namun makna persaudaraan itu seakan memudar dalam perja¬lanan penegakan ummat hari ini. Para mujahid-mujahid dakwah ter-petakan dalam batas-batas nisbi dan sulit melebur. Masing-masing menganggap dirinya paling benar dan lainnya adalah kesalahan. Alih-alih merancang kerjasama dalam amal, satu sama lain saling tuding dengan berbagai kepen-tingannya. Bahkan ada yang ber-sumpah untuk merobohkan tan-zhim (tatanan) 'lawannya' dengan segala cara. Masya Allah!!
Ketika menabrak peringatan Ilahiyyah sudah menjadi ketetapan, maka dimata Allah, hilanglah segala amal dakwah yang dikerjakan. Sebesar atau sebanyak apa¬pun pengikut tanzhimnya, sekuat dan sekaya apapun barisannya, semua tidak berarti bahkan menjadi fitnah bagi kaum Muslimin.
Hari ini, benih-benih konflik itu sudah tersebar merata. Di tingkat global, perseteruan antar ja-ma'ah sudah bukan rahasia. Di dalam jama'ah sendiri muncul sentra-sentra kekuatan yang saling intip kelemahan. Di kalangan pergerakan mahasiswa Islam, friksi terjadi antara beberapa LDK (lembaga dakwah kampus) dengan lembaga dakwah ekstra kampus. Padahal hakikatnya mereka dalam tanzhim yang sama.
Di dalam organisasi dakwah kampus, konflik bahkan tafarruq (perpecahan) menggejala dari tingkat universitas hingga jurusan. Muncul dengan subur 'syuro-syuro swasta' menandingi kiprah 'penguasa' yang ada. Tsiqah di satu sisi dan tabayyun di sisi lain menjadi barang langka. Tarik menarik SDM terjadi, hingga sempat muncul istilah 'raja-raja kecil' antar mereka.
Di lembaga dakwah ekstra kampus, konflik memang menjadi keniscayaan. Berangkat dari ber¬bagai latar belakang kampus dan pengalaman, penyatuan visi dan langkah gerak menjadi kerja besar. Namun sungguh tidak layak dan teramat tidak layak bila konflik berujung pada keretakan. Isu tanpa tabayyun dibiarkan menggelin¬ding, menyebabkan tersisihnya sebagian kader inti. Institusi menjadi goyah. Visi mahasiswa sebagai agent of change dan social control berlalu entah kemana. Perubahan masyarakat terabaikan, yang bertahan dan tersisa adalah konflik. Andaikan semuanya dibicarakan dalam koridor saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, maka semua itu tidak akan terjadi.
Bukan hanya itu. Memasuki euphoria partai juga menimbulkan beberapa ekses yang tidak sedap. Terjadi tarik menarik SDM yang tidak sehat. Di tingkat atas hubungan antara dakwah partai dengan dakwah yayasan Islam kurang harmonis!! Di tingkat kelurahan terjadi hal serupa dengan sebuah ikatan remaja masjid. Fenomena yang sangat menyedihkan. Semuanya seakan tidak berada dalam tandzim yang sama. Seakan masing-masing berambisi membesarkan institu¬sinya dengan melupakan visi yang jauh lebih besar dan mulia.
Ada anekdot di kalangan aktivis dakwah menjadi satire dalam permasalahan ini. "Kalau masalah dakwah, semuanya ribut: dari 'jalur' mana mereka? Tapi kalau masalah nikah... nggak ada jalur-jaluran!!" Sementara Allah telah memerintahkan dakwah kepada setiap Muslim, darimanapun dia, jama'ah apapun ia.
Seorang ustadz pernah mengungkapkan kegetirannya: "Akhi, jumlah waria—sebagai representasi ekstrim penyimpangan moral dan sosial di negeri ini ternyata lebih banyak dari jumlah aktivis dakwah Islamnya." Dengan jumlah yang sedikit itu, mampukah kita bertahan menjaga agama Allah bila terus larut dalam perpecahan dan keretakan tak berujung? Maka, wahai para aktivis dakwah : BERSAUDARALAH!
Al-Izzah no.19 th.2/Juli 2001
========================== ========================== ======
Di lain tempat lain waktu, tiga anak manusia hangat berdiskusi. Dengan mimik serius, sesekali me¬reka menggoreskan sketsa di papan tulis. Ketiga aktivis Muslim kam¬pus itu seolah sedang membicara¬kan rekayasa sosial politik di kam¬pusnya. Tampak mereka menghi¬tung-hitung kekuatan dan kele¬mahan yang dimiliki, baik lawan maupun kawan. Namun bila ditilik lebih dekat, ternyata mereka ber-bincang untuk menurunkan qiya-dah kampus. Suatu 'tembok insti¬tusi' yang selama ini dirasakan ku¬rang aspiratif terhadap ide-ide kre¬atif mereka.
Di belahan bumi lainnya, anak-anak, laki-laki dan wanita mus-limin panik berlarian. Dengan wa¬jah cemas mereka mencoba me-nyelamatkan diri. Dibelakang, ra¬tusan bahkan ribuan milisi kafir mengejar dan memberondong de¬ngan senjata-senjata mereka. Ru¬mah, masjid dan sekolah dibakar habis. Rata dengan tanah. Hutan dan apa saja yang bisa melindungi mereka menjadi tujuan. Jangan bertanya tentang perlawanan, ka¬rena makanan dan obat-obatan saja belum tentu ada. Saat itu mereka hanya bisa bertanya: "Mataa nashrullah ? Dimana pertolongan Allah 1 Dimana Mujahid-Mujahid Allah ?" Harapan yang tergetar di antara bibir pecah yang kelaparan.
Di sekitar kita, dalam keadaan yang berbeda. Saudara muslim kita tenggelam dalam 'kenikmatan' hidup. Mereka keluar mengumbar kehinaan, dengan sadar, murah, dan tanpa rasa berdosa. Mereka menggadaikan kemuliaan, status penghambaan, dan menjadi agen kampanye nilai-nilai kuffar. Semata karena ketidakpahaman. Mereka mendapatkan defenisi persauda-raannya di sana. "Ah, bodo... kaku kayak begitu mana enak gaulnya. Ke-tinggalan zaman, kuno, suka nggak nyambung kala di ajak ngomong"
Ironis. Di satu sisi ummat ter-jerumus ke dasar lembah kehinaan. Dengan segala kebutaan akan pe¬tunjuk Rabbani, tanpa tersadar kaki-kaki ummat melangkah me¬nuju kebinasaan. Satu milyar umat dimuka bumi ini membutuhkan manusia-manusia penyadar. Manu¬sia yang mampu membangunkan ummat, membukakan matanya dan menyucikan jiwanya. Manusia yang memiliki imunitas akan badai be¬sar jahiliyyah. Manusia yang ber¬tekad mengusung warisan para an-biya, ulama, mujaddid, shiddiqin dan syuhada. Manusia yang menye-lamatkan ummat dari jurang kebo-dohan dan kenistaan.
Namun di sisi lain, hari ini kita dapati manusia-manusia penyadar itu larut dengan ego dan fanatisme masing-masing. Terperosok dalam perdebatan yang memecah belah dengan teramat parah. Seakan lupa bahwa kebenaran hanyalah milik Allah. Bahwa wala' (loyalitas) dan ghayah (tujuan) hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Bahwa se¬gala pendapat, uslub dan fikrah merupakan ijtihad yang bisa benar dan bisa salah. Bahwa institusi dak¬wah pemayung amal adalah semata washilah (sarana), bukan ghayah. Bahwa setiap Muslim adalah ber¬saudara dengan segala hak-hak yang telah diamanatkan Allah dan Rasul-Nya. Bahwa perpecahan ha-nyalah akan melemahkan langkah dan mencerai-beraikan barisan.
Sungguh, Allah telah tegas mengingatkan: "Dan taatlah ke¬pada Allah dan Rasul-Nya dan ja¬nganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QSAlAnfal: 16). "
Sungguh Rasulullah saw yang mulia juga mengamanahkan: "Hendaklah kalian menjauhi prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian mencari kesalahan orang lain, saling mendengki, memancing emo¬si, dan saling membenci. Akan tetapi jadilah kalian hamba Allah yang berukhuwah!". (HRBukharidari Abu Hurairah ra).
Persaudaraan menjadi kata yang teramat mahal hari ini. Pa¬dahal kata inilah kunci kejayaan kaum Muslimin di masa silam. Kata yang mampu mengeja¬wantahkan aqidah dalam segala dimensinya. Kata yang mampu me-lehur segala kelas sosial. Menyu¬sun ragam suku, bahasa, budaya, negara, politik hingga pemikiran dan rasa menjadi warna-warni mozaik indah beridentitas : ISLAM.
Namun makna persaudaraan itu seakan memudar dalam perja¬lanan penegakan ummat hari ini. Para mujahid-mujahid dakwah ter-petakan dalam batas-batas nisbi dan sulit melebur. Masing-masing menganggap dirinya paling benar dan lainnya adalah kesalahan. Alih-alih merancang kerjasama dalam amal, satu sama lain saling tuding dengan berbagai kepen-tingannya. Bahkan ada yang ber-sumpah untuk merobohkan tan-zhim (tatanan) 'lawannya' dengan segala cara. Masya Allah!!
Ketika menabrak peringatan Ilahiyyah sudah menjadi ketetapan, maka dimata Allah, hilanglah segala amal dakwah yang dikerjakan. Sebesar atau sebanyak apa¬pun pengikut tanzhimnya, sekuat dan sekaya apapun barisannya, semua tidak berarti bahkan menjadi fitnah bagi kaum Muslimin.
Hari ini, benih-benih konflik itu sudah tersebar merata. Di tingkat global, perseteruan antar ja-ma'ah sudah bukan rahasia. Di dalam jama'ah sendiri muncul sentra-sentra kekuatan yang saling intip kelemahan. Di kalangan pergerakan mahasiswa Islam, friksi terjadi antara beberapa LDK (lembaga dakwah kampus) dengan lembaga dakwah ekstra kampus. Padahal hakikatnya mereka dalam tanzhim yang sama.
Di dalam organisasi dakwah kampus, konflik bahkan tafarruq (perpecahan) menggejala dari tingkat universitas hingga jurusan. Muncul dengan subur 'syuro-syuro swasta' menandingi kiprah 'penguasa' yang ada. Tsiqah di satu sisi dan tabayyun di sisi lain menjadi barang langka. Tarik menarik SDM terjadi, hingga sempat muncul istilah 'raja-raja kecil' antar mereka.
Di lembaga dakwah ekstra kampus, konflik memang menjadi keniscayaan. Berangkat dari ber¬bagai latar belakang kampus dan pengalaman, penyatuan visi dan langkah gerak menjadi kerja besar. Namun sungguh tidak layak dan teramat tidak layak bila konflik berujung pada keretakan. Isu tanpa tabayyun dibiarkan menggelin¬ding, menyebabkan tersisihnya sebagian kader inti. Institusi menjadi goyah. Visi mahasiswa sebagai agent of change dan social control berlalu entah kemana. Perubahan masyarakat terabaikan, yang bertahan dan tersisa adalah konflik. Andaikan semuanya dibicarakan dalam koridor saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, maka semua itu tidak akan terjadi.
Bukan hanya itu. Memasuki euphoria partai juga menimbulkan beberapa ekses yang tidak sedap. Terjadi tarik menarik SDM yang tidak sehat. Di tingkat atas hubungan antara dakwah partai dengan dakwah yayasan Islam kurang harmonis!! Di tingkat kelurahan terjadi hal serupa dengan sebuah ikatan remaja masjid. Fenomena yang sangat menyedihkan. Semuanya seakan tidak berada dalam tandzim yang sama. Seakan masing-masing berambisi membesarkan institu¬sinya dengan melupakan visi yang jauh lebih besar dan mulia.
Ada anekdot di kalangan aktivis dakwah menjadi satire dalam permasalahan ini. "Kalau masalah dakwah, semuanya ribut: dari 'jalur' mana mereka? Tapi kalau masalah nikah... nggak ada jalur-jaluran!!" Sementara Allah telah memerintahkan dakwah kepada setiap Muslim, darimanapun dia, jama'ah apapun ia.
Seorang ustadz pernah mengungkapkan kegetirannya: "Akhi, jumlah waria—sebagai representasi ekstrim penyimpangan moral dan sosial di negeri ini ternyata lebih banyak dari jumlah aktivis dakwah Islamnya." Dengan jumlah yang sedikit itu, mampukah kita bertahan menjaga agama Allah bila terus larut dalam perpecahan dan keretakan tak berujung? Maka, wahai para aktivis dakwah : BERSAUDARALAH!
Al-Izzah no.19 th.2/Juli 2001
==========================
2 komentar:
Assalamu'alaikum. Nama saya salman. Salam kenal. mau kasih link ini, cuma untuk share aja akh. Jazakallah.
http://www.facebook.com/notes.php?id=1192000463
salam kenal juga... makasih dah ngunjungin ya... :) saya add deh..
Posting Komentar