Pages

Subscribe Twitter

Rabu, 29 April 2009

TARBIYAH DAN AKTIVIS LILIN

Dinamis dalam dakwah, performa sempurna, dan membangun kesan produktif. Dikenal sebagai aktivis dakwah. Tapi benarkah ini proses membangun? Ataukah tabir di balik kelemahan? Yang memberi cahaya tapi menghabiskan potensi dan nilai diri? Membakar habis ruh yang bergerak dalam jasad yang ragu, seperti lilin…?!


“Sebenarnya umat Islam tidak kekurangan kuantitas, tetapi telah kehilangan kualitas. Kita telah kehilangan bentuk dan keteladanan manusia muslim yang kuat imannya, yang membulatkan dirinya untuk dakwah, yang rela berkorban di jalan dakwah dan jihad fii sabilillah, dan yang senantiasa istiqomah sampai akhir hayatnya. Maka marilah kita beriltizam dengan tarbiyah dan janganlah kita ridha menukarnya dengan cara-cara yang lain.” Demikian taujihat yang disampaikan oleh Syaikh Musthafa Masyhur.

Inilah arahan yang mengajarkan kita tentang tujuan dari sebuah kerisauan. Satu perasaan yang yang senantiasa kita butuhkan untuk memantapkan satu kata dalam konsep diri kita…kedewasaan. Kerisauan inilah yang harus kita tempatkan di atas rel yang benar. Kepada umat dan kader dakwah ini, risau karena kualitas, dan bukan sekedar pada kuantitas. Risau kepada diri kita, kepada keluarga, dan kepada seluruh manusia yang telah dan akan membangun interaksinya dengan kita. Interaksi spesifik, interaksi ketaatan, interaksi dakwah.

Gambaran tersebut diwakili oleh Fulan, seorang aktivis dakwah kampus. Perenungan mengantarkannya pada diskusi dalam sebuah majelis yang diikutinya. “Ustadz, ini menjadi masalah besar dalam diri ane. Ane mencermati perilaku dan keluhan aktivis dakwah. Gambarannya begini. Ketika seorang hamba memiliki kuantitas ibadah yang bertambah, maka seharusnya berkorelasi positif dengan kualitas keimanan hamba tersebut. Dalam perspektif dakwah pun seharusnya berlaku hal yang sama. Seorang aktivis, ketika frekuensi aktivitas dakwahnya makin padat maka seharusnya ia juga memiliki kualitas keimanan yang juga meningkat. Akan tetapi kenyataan di lapangan terlihat agak berbeda. Seringkali aktivitas dakwah yang padat justru menggerus dan menyerap habis kesabaran, tabungan empati, dan kedewasaan seorang da’i. Kami menjadi lebih emosional, kehilangan nuansa ukhuwah, dan yang parah adalah melihat amanah dakwah sebagai seuatu beban. Kami merasa terjebak dalam ‘sekedar’ aktivitas formal keorganisasian, sekedar menjadi robot-robot pelaksana proker. Bahwa amalan tersebut tidak berbeda dari amalan mahasiswa lain yang menggelar konser musik kampus dan yang sejenisnya. Parahnya lagi, mereka terlihat lebih ‘hidup’ dengan dinamika aktivitasnya dibandingkan dengan nuansa yang kami miliki dalam mengemban amanah dakwah ini. Bahkan kadang-kadang setan datang dan memberikan was-was. Muncul pertanyaan-pertanyaan, susah amat sih menjadi selalu baik di hadapan orang. Atau ungkapan bahwa ane merasa memiliki kepribadian ganda, di depan orang lain selalu dituntut baik, tapi sebenarnya lemah ketika sendirian, dan seterusnya. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”



Aktivis Lilin

Gambaran kondisi aktivis dakwah yang diwakili Fulan adalah gambaran aktivis lilin. Tampil sebagai da’I yang memberikan pencerahan kepada masyarakat kampus, akan tetapi secara sadar membakar habis potensi keimanan yang dimiliki. Penyebabnya adalah pemahaman yang memandang agenda dakwah berbingkai kegiatan organisasi selalu lebih utama dari agenda pembinaan. Perilaku turunannya adalah tidak jarang aktivis dakwah meminta izin dari jadwal tarbiyah karena ada syura dakwah. Pada saat itulah potensi keimanan sang aktivis tidak ter- up grade. Padahal itulah bekalan yang harus selalu tersedia dalam agenda dakwah, sekecil apapun. Dari pemahaman yang keliru tadi, aktivitas dakwah sang aktivis ‘membakar’ habis potensi dirinya. Mejadi futur adalah konsekuensi logis yang pasti terjadi.

Tanpa kita sadari seringkali kita terjebak di dalam konteks tersebut. Semangat yang kita miliki dalam dakwah sangat kondisional. Tidak didukung oleh agenda persiapan yang berkesinambungan. Ketika lingkungan kondusif untuk dakwah, maka kita akan tampil optimal.akan tetapi ketika lingkungan melemah dan amanah dakwah hanya tersampir di pundak segelintir ikhwah, maka kita pun melemah. Tidak mustahil akhirnya semangat dakwah kita kian melemah, meleleh, dan akhirnya padam, layaknya sebatang lilin.


Substansi dan Kedudukan Tarbiyah

Jika tarbiyah tidak penting, tidak mungkin Syaikh Musthafa Masyhur menegaskan, “Marilah kita beriltizam dengan tarbiyah dan janganlah kita ridha menukarnya dengan cara-cara yang lain.” Sebab tarbiyah adalah wadah dimana kita melengkapi pemahaman dan bekalan dakwah. Modal yang menjelma menjadi cirri dan karakter kita dalam menegakkan amanah kebaikan dan menyerukan Islam.

Dimanakah kiranya kita bias dapatkan tempat yang menempa kita menjadi seorang mujahid? Sosok yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi kepada agamanya, pemahaman yang menyeluruh, lengkap, dan orisinal terhadap Kitabullah dan Sunnaturrasul. Dan ia harus memiliki keikhlasan yang besar untuk menjadi laskar dakwah dan aqidah. Bukan sekedar laskar organisasi kampus apalagi laskar lainnya yang hanya mengejar keuntungan dan tujuan materi semata. Bukan pula laskar yang semata-mata mengejar kepentingan diri sendiri dan popularitas. Menjadi sosok yang mengutamakan kerja daripada hanya sekedar berbicara. Yang seimbang perkataan dengan perbuatan. Yang mengenal dengan pasti jalan yang dilaluinya dan mengikhlaskan niatnya karena Allah semata.

Sosok yang bertekad untuk dakwah dan membebaskan dirinya dari segala prinsip selain Islam dan dari manusia yang tidak menyetujui dakwah Islam. Kemudian ia menyiapkan dan menyediakan dirinya untuk berjihad di jalan Allah demi meninggikan Kalamullah dengan mengorbankan segala yang dimilikinya, jiwa, harta, waktu, dan usaha. Sosok yang oleh Allah ditawar tinggi dengan tebusan kemuliaan, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari diri orang-orang yang beriman dari diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka.” (QS.At Taubah: 111).

Dimanakah kiranya sosok itu dibentuk selain dari sebuah wadah pembinaan yang berkesinambungan. Pembinaan yang terukur dan sarat dengan proses implementasi nilai. Wadah yang menghimpun komitmen dan keinginan sekaligus membakar kelemahan dan tujuan yang menyimpang. Lingkungan yang memungkinkan kita memaksa diri untuk ikhlas menaati ketetapan Allah, penuh rasa ukhuwah, dan saling taushiyah.

Maka marilah kita renungkan, sekuat apakah kita akan bertahan dalam dinamika yang secara paksa merenggut semua peluang keimanan kita. Apalagi kalau kita berpikir masih dapat berpartisipasi melawan hegemoni kemaksiatan dan kemusyrikan serta budaya hidup yang melenakan. Kecuali dengan pengkondisian yang terstruktur dan terpantau, bersama orang-orang yang memiliki komitmen yang sama, serta saling menguatkan, melengkapi pemahaman dan bekalan yang dibutuhkan, hidup dalam tarbiyah. Maka dengan itulah kita mampu bertahan dalam pertarungan besar ini. Jika tidak, maka kita hanya akan mengulang kisah sedih para aktivis lilin yang tertipu oleh kekuatan dirinya, yang berakhir tidak bersisa kecuali menjadi debu yang tidak bermakna. Na’udzubillahi min dzalika.



Epilog

Kembalilah kepada tarbiyah sebagai langkah awal memulai kehidupan dakwah kita. Sebagai lingkungan membangun karakter mujahid diri kita. Karena dakwah ini tidak hanya menuliskan kisah-kisah keberhasilan dan kejayaan, melainkan juga penderitaan dan kesedihan, kisah pengorbanan yang menuntut pembuktian. Bukankah Allah telah mengingatkan kita, “Adakah manusia menyangka mereka akan dibiarkan berkata,’Kami telah beriman.’ Padahal mereka belum diuji dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, supaya Kami mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.” (QS.Al Ankabut: 2-3)

Dengan tarbiyah marilah kita berhimpun dalam barisan aktivis dakwah, bukan aktivis lilin. Karena tarbiyah adalah wujud langsung komitmen kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Proses pembinaan diri mengarahkan kita untuk taat pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menuntut komitmen dan memaksa kelemahan kita, yang juga berarti menyiapkan kita untuk dapat bertahan dalam berbagai ujian dan beban yang semakin berat.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) oleh orang-orang sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata,”Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (QS. Al Baqarah: 214)

Masihkah kita bisa merasa tidak merugi ketika mengurangi dan tidak mengoptimalkan kesempatan dalam berbagai agenda tarbiyah kita? Belum tibakah saatnya memaksa kelemahan diri untuk patuh pada semangat kebangkitan yang sering kita cita-citakan?


Disadur dengan beberapa perubahan dari:
Al Izzah no.6/th.4/Juli 2004.

~sekali-kali rada berat materinya, tapi penting bagi dakwah ini boleh ya?

0 komentar:

Posting Komentar